SELAMAT DATANG DI OSCARoke

054

Sang Fenomena

Sang Fenomena
Lagi Acting Film " Orang Ganteng Bukan Orang Play Boy"

BUTUH KESERIUSAN

BUTUH KESERIUSAN
Ruang BIN Kejati Riau

BEGINILAH HIDUP DIDUNIA

Foto saya
Pekanbaru, Riau, Indonesia
Bukan Manusia kalau tidak punya masalah, bukan masalah kalau tidak bisa dipecahkan manusia.

Rabu, 22 September 2010

Topik| Tanya Jawab

Tags : akhlaq, isteri, suami

Sikap Istri yang Kasar Terhadap Suami

Tanya:
ass. pak ustad saya mau tanya mengenai sikap istri yang kasar thd suami terutama dalam perkataan yang sudah berkali2. saya menyikapi dengan sabar namun titik optimal kekecewaan saya istri saya melontarkan kata2 sangat tidak enak (saya sangat mencintai istri saya) namun dengan perkataan beliau pada saat itu saya benar2 tersinggung dan ini sudah seringkali terjadi melontarkan makian dan kata2 kasar kepada saya….mohon petunjuk pak ustad dan dalil nya ….tks

Jawab:
W.ass. Sifat kasar seorang isteri terhadap suaminya merupakan indikator keburukan akhlaqnya sekaligus bukti bahwa ia bukan wanita yang shaleh.Nabi saw. pernah bersabda (yang artinya):
“Sebaik-baiknya wanita — bagi suami — ialah yang menyenangkan ketika dilihat, patuh ketika diperintah, dan tidak menentang suaminya baik dalam hatinya, dan juga tidak membelanjakan (menggunakan) hartanya kepada perkara yang dibenci suaminya”
(H.R. Ahmad, An-Nasa-i dan Al-Hakim)
Oleh karena itu anda harus berusaha menasehati isteri anda ini, karena kalau dibiarkan dengan akhlaq buruk seperti itu, dampaknya sangat tidak baik bagi anda, yaitu do’a anda tidak akan dikabulkan oleh Allah, sebagaimana sabda Nabi saw (yang artinya).:
“Ada tiga golongan yang berdo’a kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung, namun tidak dikabulkan; yaitu seorang laki-laki yang mempunyai isteri yang buruk akhlaqnya dan ia tidak mau menceraikannya……………(dst.)”.
(H.R. Al-Hakim)

Minggu, 05 September 2010

Cara membuat Fiberglass untuk Mobil


















Bahan-bahan:
- Serat Fiber Glass/Mat Fiber
- Resin
- Catalyst

Formula:
- 8 tetes Catalyst
- 1 Cup Air/resin

Untuk membeli bahan bahan Fiberglass ( Mat, Resin, Catalyst, Pigment, Wqx, dll ) dapat dibeli di toko-toko kimia yang ada baik di Jakarta maupun di kota-kota lain.
Untuk pembelian dalam quantity yang besar dapat membelinya langsung kepada produsen, importir maupun ke agen penjualan.

Untuk cara pembuatan Fiberglass itu sendiri tergantung dari produk yang akan dibuat.

Proses pembuatannya secara umum adalah sebagai berikut.
Pertama-tama harus ada cetakan (Moulding) untuk membuat bentuk yang diinginkan.
Lalu permukaannya diberi wax yang fungsinya sebagai release agent.
Setelah itu diberi gelcoat (resin yang sudah dimix dengan pewarna/pigment).
Biarkan beberapa saat untuk gelcoat mengering.
Dan diatasnya dilapisi kain mat, kemudian diberi resin yang sudah diberi campuran catalyst sampai keseluruh permukaan mat.
Tunggu hingga resin menggering, produk fiberglass siap dilepas dari cetakan dan selesai.

Ini salah satu proses pembuatan produk fiberglass. Masih ada beberapa proses pembuatan tergantung produk yang dibuat.

Kiranya dapat bermanfaat.

BAHAN BAKU FIBERGLASS
Fiberglass adalah bahan paduan atau campuran beberapa bahan kimia (bahan komposit) yang bereaksi dan mengeras dalam waktu tertentu. Bahan ini mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan bahan logam, diantaranya: ringan, mudah dibentuk, dan murah.

Erosil
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berbentuk bubuk sangat halus seperti bedak bayi berwama putih. Berfungsi sebagai perekat mat agar Fiberglass menjadi kuat dan tidak mudah patah/pecah.

Resin
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berujud cairan kental seperti lem, berkelir hitam atau bening. Berfungsi untuk mengeraskan semua bahan yang akan dicampur.

Katalis
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berwarna bening dan berfungsi sebagal pengencer. Zat kimia ini biasanya dijual bersamaan dengan resin. Perbandingannya adalah resin 1 liter dan katalisnya 1/40 liter.

PIGMEN
adalah zat pewana sebagai pencampur saat bahan Fiberglass dicampur.

Mat
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berupa anyaman mirip kain dan terdiri dari beberapa model, dari model anyaman halus sampai dengan anyaman yang kasar atau besar dan jarang-jarang. Berfungsi sebagai pelapis campuran adonan dasar Fiberglass, sehingga sewaktu unsur kimia tersebut bersenyawa dan mengeras, mat berfungsi sebagai pengikatnya. Akibatnya Fiberglass menjadi kuat dan tidak getas.

Talk
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berupa bubuk berwarna putih seperti sagu. Berfungsi sebagai campuran adonan Fiberglass agar keras dan agak lentur.
Diposting oleh ENDO FIBERGLASS di 20:50

Proses Pembuatan Fiberglass
(a) mencampur 6 (enam) bahan utama menjadi bahan dasaran;
(b) membuat campuran penguat; dan
(c) finishing atau penyempurnaan.

Agar dapat dihasilkan kualitas Fiberglass yang kuat,campuran bahan untuk master cetakan harus lebih tebal dari pada Fiberglass hasil, yaitu sekitar 2-3 mm atau dilakukan 3-4 kali pelapisan. Sebagai gambaran misalnya akan membuat sebuah komponen bodi kendaraan.

Proses membuat campurannya adalah sebagai berikut :
Resin sejumlah 1,5 — 2 liter dicampur dengan talk dan diaduk rata. Apabila campuran yang terjadi terlalu kental maka perlu ditambahkan katalis.

Penggunaan katalis harus sesuai dengan perbandingan 1 : 1/40. Oleh karena itu apabila resinnya 2 liter, maka katalisnya 50 cc.

Selanjutnya ditambahkan erosil antara 400 — 500 gram pada campuran tersebut dan ditambahkan pula pigmen atau zat pewarna.

Apabila semua campuran tersebut diaduk masih terlalu kental, maka perlu ditambahkan katalis dan apabila campurannya terialu encer dapat ditambahkan aseton.

Pemberian banyak sedikitnya katalis akan mempengaruhi cepat atau lambatnya proses pengeringan.

Pada cuaca yang dingin akan dibutuhkan katalis yang lebih banyak.

Setelah campuran bahan dasar dibuat, langkah berikutnya adalah memoles permukaan cetakan dengan mirror (sebagai pelicin dan pengkilap) dan dilakukan memutar sampai lapisannya benar-benar merata.

Agar didapatkan hasil yang lebih baik, perlu ditunggu beberapa menit sampai pelicin tersebut menjadi kering.Untuk mempercepat proses pengeringan, dapat dijemur di terik matahari.

Apabila mirror sudah terserap, permukaan cetakan dapat dilap dengan menggunakan kain bersih hingga mengkilap. Selanjutnya permukaan cetakan dioleskan PVA untuk menjaga agar permukaan cetakan tidak lengket dengan Fiberglass hasil.

Langkah berikutnya adalah mengoleskan permukaan cetakan dengan adonan/campuran dasar sampai merata, dan ditunggu sampai setengah kering.

Selanjutnya di atas campuran yang telah dioleskan dapat diberi selembar mat sesuai dengan kebutuhan, dan dilapisi lagi dengan adonan dasar.

Untuk menghindari adanya gelembung udara, pengolesan adonan dasar dilakukan sambil ditekan, sebab gelembung akan mengakibatkan Fiberglass mudah keropos.

Jumlah pelapisan adonan dasar disesuaikan dengan keperluan, makin tebal lapisan maka akan makin kuat daya tahannya.

Selain itu sebagai penguat dapat ditambahkan tulangan besi atau tripleks, terutama untuk bagian yang lebar. Tujuannya adalah agar hasilnya tidak mengalami kebengkokan.

Apabila diperlukan, dilakukan pengerolan menyesuaikan alur-alur atau lekukan-lekukan yang ada di cetakan. Untuk mempercepat proses pengeringan, dapat dijemur di terik matahari.

Pelepasan Fiberglass hasil dilakukan apabila lapisan adonan tersebut sudah kering dan mengeras, sebab apabila dilepas sebelum kering dapat terjadi penyusutan.

Pada langkah finishing, dilakukan pengamplasan permukaan Fiberglass, pendempulan, dan pengecatan sesuai dengan warna yang diinginkan.

Bahan-bahan:
- Serat Fiber Glass/Mat Fiber
- Resin
- Catalyst

Formula:
- 8 tetes Catalyst
- 1 Cup Air/resin

Untuk membeli bahan bahan Fiberglass ( Mat, Resin, Catalyst, Pigment, Wqx, dll ) dapat dibeli di toko-toko kimia yang ada baik di Jakarta maupun di kota-kota lain.
Untuk pembelian dalam quantity yang besar dapat membelinya langsung kepada produsen, importir maupun ke agen penjualan.

Untuk cara pembuatan Fiberglass itu sendiri tergantung dari produk yang akan dibuat.

Proses pembuatannya secara umum adalah sebagai berikut.
Pertama-tama harus ada cetakan (Moulding) untuk membuat bentuk yang diinginkan.
Lalu permukaannya diberi wax yang fungsinya sebagai release agent.
Setelah itu diberi gelcoat (resin yang sudah dimix dengan pewarna/pigment).
Biarkan beberapa saat untuk gelcoat mengering.
Dan diatasnya dilapisi kain mat, kemudian diberi resin yang sudah diberi campuran catalyst sampai keseluruh permukaan mat.
Tunggu hingga resin menggering, produk fiberglass siap dilepas dari cetakan dan selesai.

Ini salah satu proses pembuatan produk fiberglass. Masih ada beberapa proses pembuatan tergantung produk yang dibuat.

Kiranya dapat bermanfaat.

BAHAN BAKU FIBERGLASS
Fiberglass adalah bahan paduan atau campuran beberapa bahan kimia (bahan komposit) yang bereaksi dan mengeras dalam waktu tertentu. Bahan ini mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan bahan logam, diantaranya: ringan, mudah dibentuk, dan murah.

Erosil
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berbentuk bubuk sangat halus seperti bedak bayi berwama putih. Berfungsi sebagai perekat mat agar Fiberglass menjadi kuat dan tidak mudah patah/pecah.

Resin
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berujud cairan kental seperti lem, berkelir hitam atau bening. Berfungsi untuk mengeraskan semua bahan yang akan dicampur.

Katalis
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berwarna bening dan berfungsi sebagal pengencer. Zat kimia ini biasanya dijual bersamaan dengan resin. Perbandingannya adalah resin 1 liter dan katalisnya 1/40 liter.

PIGMEN
adalah zat pewana sebagai pencampur saat bahan Fiberglass dicampur.

Mat
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berupa anyaman mirip kain dan terdiri dari beberapa model, dari model anyaman halus sampai dengan anyaman yang kasar atau besar dan jarang-jarang. Berfungsi sebagai pelapis campuran adonan dasar Fiberglass, sehingga sewaktu unsur kimia tersebut bersenyawa dan mengeras, mat berfungsi sebagai pengikatnya. Akibatnya Fiberglass menjadi kuat dan tidak getas.

Talk
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berupa bubuk berwarna putih seperti sagu. Berfungsi sebagai campuran adonan Fiberglass agar keras dan agak lentur.
Diposting oleh ENDO FIBERGLASS di 20:50

Proses Pembuatan Fiberglass
(a) mencampur 6 (enam) bahan utama menjadi bahan dasaran;
(b) membuat campuran penguat; dan
(c) finishing atau penyempurnaan.

Agar dapat dihasilkan kualitas Fiberglass yang kuat,campuran bahan untuk master cetakan harus lebih tebal dari pada Fiberglass hasil, yaitu sekitar 2-3 mm atau dilakukan 3-4 kali pelapisan. Sebagai gambaran misalnya akan membuat sebuah komponen bodi kendaraan.

Proses membuat campurannya adalah sebagai berikut :
Resin sejumlah 1,5 — 2 liter dicampur dengan talk dan diaduk rata. Apabila campuran yang terjadi terlalu kental maka perlu ditambahkan katalis.

Penggunaan katalis harus sesuai dengan perbandingan 1 : 1/40. Oleh karena itu apabila resinnya 2 liter, maka katalisnya 50 cc.

Selanjutnya ditambahkan erosil antara 400 — 500 gram pada campuran tersebut dan ditambahkan pula pigmen atau zat pewarna.

Apabila semua campuran tersebut diaduk masih terlalu kental, maka perlu ditambahkan katalis dan apabila campurannya terialu encer dapat ditambahkan aseton.

Pemberian banyak sedikitnya katalis akan mempengaruhi cepat atau lambatnya proses pengeringan.

Pada cuaca yang dingin akan dibutuhkan katalis yang lebih banyak.

Setelah campuran bahan dasar dibuat, langkah berikutnya adalah memoles permukaan cetakan dengan mirror (sebagai pelicin dan pengkilap) dan dilakukan memutar sampai lapisannya benar-benar merata.

Agar didapatkan hasil yang lebih baik, perlu ditunggu beberapa menit sampai pelicin tersebut menjadi kering.Untuk mempercepat proses pengeringan, dapat dijemur di terik matahari.

Apabila mirror sudah terserap, permukaan cetakan dapat dilap dengan menggunakan kain bersih hingga mengkilap. Selanjutnya permukaan cetakan dioleskan PVA untuk menjaga agar permukaan cetakan tidak lengket dengan Fiberglass hasil.

Langkah berikutnya adalah mengoleskan permukaan cetakan dengan adonan/campuran dasar sampai merata, dan ditunggu sampai setengah kering.

Selanjutnya di atas campuran yang telah dioleskan dapat diberi selembar mat sesuai dengan kebutuhan, dan dilapisi lagi dengan adonan dasar.

Untuk menghindari adanya gelembung udara, pengolesan adonan dasar dilakukan sambil ditekan, sebab gelembung akan mengakibatkan Fiberglass mudah keropos.

Jumlah pelapisan adonan dasar disesuaikan dengan keperluan, makin tebal lapisan maka akan makin kuat daya tahannya.

Selain itu sebagai penguat dapat ditambahkan tulangan besi atau tripleks, terutama untuk bagian yang lebar. Tujuannya adalah agar hasilnya tidak mengalami kebengkokan.

Apabila diperlukan, dilakukan pengerolan menyesuaikan alur-alur atau lekukan-lekukan yang ada di cetakan. Untuk mempercepat proses pengeringan, dapat dijemur di terik matahari.

Pelepasan Fiberglass hasil dilakukan apabila lapisan adonan tersebut sudah kering dan mengeras, sebab apabila dilepas sebelum kering dapat terjadi penyusutan.

Pada langkah finishing, dilakukan pengamplasan permukaan Fiberglass, pendempulan, dan pengecatan sesuai dengan warna yang diinginkan.

Jumat, 30 April 2010

Tips membeli kijang grand ekstra

Sedikit penjelasan tentang mobil Kijang Grand Ekstra, mobil ini adalah mobil kijang generasi ketiga yang diluncurkan pada tahun 1992-1996,,dimana kijang generasi sebelumnya yang kita sebut kijang super diluncurkan pada tahun 1988-1992.

berikut ini akan saya berikan beberapa tips agar anda tidak tertipu saat membeli mobil ini,, karna banyak sekali mobil kijang grand ekstra yang palsu yaitu kijang super yang di modifikasi atau pun bekas angkot,, tentu anda tidak mau kan mendapatkan mobil yang seperti itu,,,,lihat tips di bawah ini :

1. Cek STNK bila kijang grand ekstra asli di akhir jenis mobil ada SHR nya,,misal
"Toyota Kijang 1.8 SHR"
2. Cek indikatornya kalo grand ekstra dia sudah menggunakan RPM
3. Grand ekstra sudah menggunakan AC double blower
4. Grill depan grand ekstra mengarang kesamping semua,,,
5. Kaca belakang sudah bukan model geser,,,
6. Ada 5 pintu,, super biasaya hanya 3/4 pintu,,,
7. Cek warna asli mobil apakah sudah ganti warna apa balum,,
8. Cek warna dasar kap mesin mobil,, apabila warna putih atau biru kemungkinan bekas angkot

tips di atas saya ambil dari pengalaman saya sendiri,,karna saya juga mengetahui dari sumber-sumber yang terpercaya,,mudah"an tips di atas bermanfaat bagi anda yang ingin membeli mobil ini dan tentu tidak ingin tertipu,,,yang terpenting adalah periksalah dengan teliti setiap anda ingin membeli semua jenis mobil,,,

Selasa, 20 April 2010

Jenis- Jenis Phsikotropika


JENIS-JENIS PSIKOTROPIKA
Desember 31, 2007

JENIS-JENIS PSIKOTROPIKA

Adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetris, bukan narkotika, yang bersifat atau berkhasiat psiko aktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabjan perubahankahas pada aktivitas mental dan perilaku.

Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya.

Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk, tidak saja menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun psikis si pemakai, tidak jarang bahkan menimbulkan kematian.

Sebagaimana Narkotika, Psikotropika terbagi dalam empat golongan yaitu Psikotropika gol. I, Psikotropika gol. II, Psyko Gol. III dan Psikotropik Gol IV. Psikotropika yang sekarang sedang populer dan banyak disalahgunakan adalah psikotropika Gol I, diantaranya yang dikenal dengan Ecstasi dan psikotropik Gol II yang dikenal dengan nama Shabu-shabu.

ECSTASY

Rumus kimia XTC adalah 3-4-Methylene-Dioxy-Methil-Amphetamine (MDMA). Senyawa ini ditemukan dan mulai dibuat di penghujung akhir abad lalu. Pada kurun waktu tahun 1950-an, industri militer Amerika Serikat mengalami kegagalan didalam percobaan penggunaan MDMA sebagai serum kebenaran. Setelah periode itu, MDMA dipakai oleh para dokter ahli jiwa. XTC mulai bereaksi setelah 20 sampai 60 menit diminum. Efeknya berlangsung maksimum 1 jam. Seluruh tubuh akan terasa melayang. Kadang-kadang lengan, kaki dan rahang terasa kaku, serta mulut rasanya kering. Pupil mata membesar dan jantung berdegup lebih kencang. Mungkin pula akan timbul rasa mual. Bisa juga pada awalnya timbul kesulitan bernafas (untuk itu diperlukan sedikit udara segar). Jenis reaksi fisik tersebut biasanya tidak terlalu lama. Selebihnya akan timbul perasaan seolah-olah kita menjadi hebat dalam segala hal dan segala perasaan malu menjadi hilang. Kepala terasa kosong, rileks dan “asyik”. Dalam keadaan seperti ini, kita merasa membutuhkan teman mengobrol, teman bercermin, dan juga untuk menceritakan hal-hal rahasia. Semua perasaan itu akan berangsur-angsur menghilang dalam waktu 4 sampai 6 jam. Setelah itu kita akan merasa sangat lelah dan tertekan.

SHABU-SHABU

Shabu-shabu berbentuk kristal, biasanya berwarna putih, dan dikonsumsi dengan cara membakarnya di atas aluminium foil sehingga mengalir dari ujung satu ke arah ujung yang lain. Kemudian asap yang ditimbulkannya dihirup dengan sebuah Bong (sejenis pipa yang didalamnya berisi air). Air Bong tersebut berfungsi sebagai filter karena asap tersaring pada waktu melewati air tersebut. Ada sebagian pemakai yang memilih membakar Sabu dengan pipa kaca karena takut efek jangka panjang yang mungkin ditimbulkan aluminium foil yang terhirup.
Sabu sering dikeluhkan sebagai penyebab paranoid (rasa takut yang berlebihan), menjadi sangat sensitif (mudah tersinggung), terlebih bagi mereka yang sering tidak berpikir positif, dan halusinasi visual. Masing-masing pemakai mengalami efek tersebut dalam kadar yang berbeda. Jika sedang banyak mempunyai persoalan / masalah dalam kehidupan, sebaiknya narkotika jenis ini tidak dikonsumsi. Hal ini mungkin dapat dirumuskan sebagai berikut: MASALAH + SABU = SANGAT BERBAHAYA. Selain itu, pengguna Sabu sering mempunyai kecenderungan untuk memakai dalam jumlah banyak dalam satu sesi dan sukar berhenti kecuali jika Sabu yang dimilikinya habis. Hal itu juga merupakan suatu tindakan bodoh dan sia-sia mengingat efek yang diinginkan tidak lagi bertambah (The Law Of Diminishing Return). Beberapa pemakai mengatakan Sabu tidak mempengaruhi nafsu makan. Namun sebagian besar mengatakan nafsu makan berkurang jika sedang mengkonsumsi Sabu. Bahkan banyak yang mengatakan berat badannya berkurang drastis selama memakai Sabu.
Apabila dilihat dari pengaruh penggunaannya terhadap susunan saraf pusat manusia, Psikotropika dapat dikelompokkan menjadi :

a. Depresant
yaitu yang bekerja mengendorkan atau mengurangi aktifitas susunan saraf pusat (Psikotropika Gol 4), contohnya antara lain : Sedatin/Pil BK, Rohypnol, Magadon, Valium, Mandrak (MX).

b. Stimulant
yaitu yang bekerja mengaktif kerja susan saraf pusat, contohnya amphetamine, MDMA, N-etil MDA & MMDA. Ketiganya ini terdapat dalam kandungan Ecstasi.

c. Hallusinogen
yaitu yang bekerja menimbulkan rasa perasaan halusinasi atau khayalan contohnya licercik acid dhietilamide (LSD), psylocibine, micraline. Disamping itu Psikotropika dipergunakan karena sulitnya mencari Narkotika dan mahal harganya. Penggunaan Psikotropika biasanya dicampur dengan alkohol atau minuman lain seperti air mineral, sehingga menimbulkan efek yang sama dengan Narkotika.

JENIS-JENIS BAHAN BERBAHAYA LAINNYA

Adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yabf dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi.

Bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan Narkotika dan Psikotropika atau Zat-zat baru hasil olahan manusia yang menyebabkan kecanduan.

MINUMAN KERAS

Adalah semua minuman yang mengandung Alkohol tetapi bukan obat.

Minuman keras terbagi dalan 3 golongan yaitu:
- Gol. A berkadar Alkohol 01%-05%
- Gol. B berkadar Alkohol 05%-20%
- Gol. C berkadar Alkohol 20%-50%

Beberapa jenis minuman beralkohol dan kadar yang terkandung di dalamnya :
- Bir,Green Sand 1% – 5%
- Martini, Wine (Anggur) 5% – 20%
- Whisky, Brandy 20% -55%.

mulut rasanya kering. Pupil mata membesar dan jantung berdegup lebih kencang. Mungkin pula akan timbul rasa mual. Bisa juga pada awalnya timbul kesulitan bernafas (untuk itu diperlukan sedikit udara segar). Jenis reaksi fisik tersebut biasanya tidak terlalu lama. Selebihnya akan timbul perasaan seolah-olah kita menjadi hebat dalam segala hal dan segala perasaan malu menjadi hilang. Kepala terasa kosong, rileks dan “asyik”. Dalam keadaan seperti ini, kita merasa membutuhkan teman mengobrol, teman bercermin, dan juga untuk menceritakan hal-hal rahasia. Semua perasaan itu akan berangsur-angsur menghilang dalam waktu 4 sampai 6 jam. Setelah itu kita akan merasa sangat lelah dan tertekan.
EFEK SAMPING YANG DITIMBULKAN :

Efek yang ditimbulkan setelah mengkonsumsi alkohol dapat dirasakan segera dalam waktu beberapa menit saja, tetapi efeknya berbeda-beda, tergantung dari jumlah / kadar alkohol yang dikonsumsi. Dalam jumlah yang kecil, alkohol menimbulkan perasaan relax, dan pengguna akan lebih mudah mengekspresikan emosi, seperti rasa senang, rasa sedih dan kemarahan.
Bila dikonsumsi lebih banyak lagi, akan muncul efek sebagai berikut : merasa lebih bebas lagi mengekspresikan diri, tanpa ada perasaan terhambat menjadi lebih emosional ( sedih, senang, marah secara berlebihan ) muncul akibat ke fungsi fisik – motorik, yaitu bicara cadel, pandangan menjadi kabur, sempoyongan, inkoordinasi motorik dan bisa sampai tidak sadarkan diri. kemampuan mental mengalami hambatan, yaitu gangguan untuk memusatkan perhatian dan daya ingat terganggu.

Pengguna biasanya merasa dapat mengendalikan diri dan mengontrol tingkahlakunya. Pada kenyataannya mereka tidak mampu mengendalikan diri seperti yang mereka sangka mereka bisa. Oleh sebab itu banyak ditemukan kecelakaan mobil yang disebabkan karena mengendarai mobil dalam keadaan mabuk.

Pemabuk atau pengguna alkohol yang berat dapat terancam masalah kesehatan yang serius seperti radang usus, penyakit liver, dan kerusakan otak. Kadang-kadang alkohol digunakan dengan kombinasi obat – obatan berbahaya lainnya, sehingga efeknya jadi berlipat ganda. Bila ini terjadi, efek keracunan dari penggunaan kombinasi akan lebih buruk lagi dan kemungkinan mengalami over dosis akan lebih besar.

NIKOTIN

Adalah obat yang bersifat adiktif, sama seperti Kokain dan Heroin. Bentuk nikotin yang paling umum adalah tembakau, yang dihisap dalam bentuk rokok, cerutu, dan pipa. Tembakau juga dapat digunakan sebagai tembakau sedotan dan dikunyah (tembakau tanpa asap).
Walaupun kampanye tentang bahaya merokok sudah menyebutkan betapa berbahayanya merokok bagi kesehatan
tetapi pada kenyataannya sampai saat ini masih banyak orang yang terus merokok. Hal ini membuktikan bahwa sifat adiktif dari nikotin adalah sangat kuat.

EFEK SAMPING YANG DITIMBULKAN :

Secara perilaku, efek stimulasi dari nikotin menyebabkan peningkatan perhatian, belajar, waktu reaksi, dan kemampuan untuk memecahkan maslah. Menghisap rokok meningkatkan mood, menurunkan ketegangan dan menghilangkan perasaan depresif. Pemaparan nikotin dalam jangka pendek meningkatkan aliran darah serebral tanpa mengubah metabolisme oksigen serebtral.
Tetapi pemaparan jangka panjang disertai dengan penurunan aliran darah serebral. Berbeda dengan efek stimulasinya pada sistem saraf pusat, bertindak sebagai relaksan otot skeletal. Komponen psikoaktif dari tembakau adalah nikotin. Nikotin adalah zat kimia yang sangat toksik. Dosis 60 mg pada orang dewasa dapat mematikan, karena paralisis ( kegagalan ) pernafasan.

VOLATILE SOLVENT atau INHALENSIA

Volatile Solvent :
Adalah zat adiktif dalam bentuk cair. Zat ini mudah menguap. Penyalahgunaannya adalah dengan cara dihirup melalui hidung. Cara penggunaan seperti ini disebut inhalasi. Zat adiktif ini antara lain :
- Lem UHU
- Cairan PEncampur Tip Ex (Thinner)
- Aceton untuk pembersih warna kuku, Cat tembok
- Aica Aibon, Castol
- Premix

Inhalansia :
Zat inhalan tersedia secara legal, tidak mahal dan mudah didapatkan. Oleh sebab itu banyak dijtemukan digunakan oleh kalangan sosial ekonomi rendah. Contoh spesifik dari inhalan adalah bensin, vernis, cairan pemantik api, lem, semen karet, cairan pembersih, cat semprot, semir sepatu, cairan koreksi mesin tik ( tip-Ex ), perekat kayu, bahan pembakarm aerosol, pengencer cat. Inhalan biasanya dilepaskan ke dalam paru-paru dengan menggunakan suatu tabung.
GAMBARAN KLINIS :

Dalam dosis awal yang kecil inhalan dapat menginhibisi dan menyebabkan perasaan euforia, kegembiraan, dan sensasi mengambang yang menyenangkan. Gejala psikologis lain pada dosis tinggi dapat merupa rasa ketakutan, ilusi sensorik, halusinasi auditoris dan visual, dan distorsi ukuran tubuh. Gejala neurologis dapat termasuk bicara yang tidak jelas (menggumam, penurunan kecepatan bicara, dan ataksia ) . Penggunaan dalam waktu lama dapat menyebabkan iritabilitas, labilitas emosi dan gangguan ingatan. Sindroma putus inhalan tidak sering terjadi, Kalaupun ada muncul dalam bentuk susah tidur, iritabilitas, kegugupan, berkeringat, mual, muntah, takikardia, dan kadang-kadang disertai waham dan halusinasi.

EFEK YANG MERUGIKAN :

Efek merugikan yang paling serius adalah kematian yang disebabkan karena depresi pernafasan, aritmia jantung, asfiksiasi, aspirasi muntah atau kecelakaan atau cedera. Penggunaan inhalan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal yang ireversibel dan kerusakan otot yang permanen….

ZAT DESAINER

Zat Desainer adalah zat-zat yang dibuat oleh ahli obat jalanan. MEreka membuat obat-obat itu secara rahasia karena dilarang oleh pemerintah. Obat-obat itu dibuat tanpa memperhatikan kesehatan. Mereka hanya memikirkan uang dan secara sengaja membiarkan para pembelinya kecanduan dan menderita. Zat-zat ini banyak yang sudah beredar dengan nama speed ball, Peace pills, crystal, angel dust rocket fuel dan lain-lain.
Ditulis oleh Pergendangen NariE

Minggu, 11 April 2010

Candra Wijaya alias Acin di Ponis Bebas



















Hakim Pengadilan Tinggi Riau kembali mengeluarkan vonis bebas. Giliran terdakwa pemilik pabrik estasi yang hukuman 11 tahunnya dihapus.

Riauterkini-PEKANBARU- Lagi-lagi vonis bebas diucapkan tiga hakim di Pengadilan Tinggi (PT) Riau yang diketuai Zaini, terhitung tanggal 25 Agustus lalu salah seorang terdakwa pabrik ekstasi yakni Jono alias Ati divonis bebas. Sebelumnya PT Riau juga telah membebaskan salah seorang rekannya yakni Hendri Winata alias Acui (40) warga Jalan Permata Villa Permata Indah Blok E nomor 23.

Sebelumnya saat di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru majelis hakim telah menyatakan bahwa terdakwa Jono terbukti bersalah dan divonis selama 11 Tahun penjara, sementara untuk terdakwa Acui 4 tahun penjara dan denda sebesar Rp 25 juta subsider 2 bulan penjara karena ia tidak terbukti ikut memproduksi tetapi hanya terbukti memiliki ekstasi.

Jumat (4/9), Kuasa hukum terdakwa Jono yakni Fahermal CS membenarkan bahwa majelis hakim PT Riau telah menjatuhkan vonis bebas terhadap kleinnya tersebut dan saat ini ia telah dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pekanbaru.

"Kita hargai putusan hakim tersebut dan saya merasa puas dengan kenerja dalam mendampingi klein saya hingga ia divonis bebas dan tidak bersalah," ujarnya kepada wartawan melalui Handpone

Senin, 01 Maret 2010

Kritikan terhadap UU KDRT oleh Siti Nafidah

BEBERAPA KRITIK ATAS UU PKDRT
BEBERAPA KRITIK ATAS UU No. 23/2004 TENTANG PKDRT
Siti Nafidah


Pengantar

Tanggal 22 September 2004 bisa jadi merupakan tanggal bersejarah bagi kalangan feminis di Indonesia. Setidaknya, satu dari sekian banyak agenda perjuangan mereka yang terkait dengan isu perempuan –yakni upaya pencegahan dan penghapusan (isu) Kekerasan Dalam Rumah Tangga -- akhirnya membuahkan hasil. Pemerintah dan DPR RI akhirnya sepakat untuk mengesahkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau dikenal dengan UU KDRT.

Hanya saja, seperti yang sudah diduga sebelumnya, pengesahan undang-undang ini akhirnya memang banyak menuai kontroversi. Selain banyak kalangan yang merasa ‘kecolongan’, mereka juga menilai keberadaan UU yang disebut-sebut berharga 6 milyar rupiah dan disponsori penuh oleh The Asia Foundation ini terbangun di atas paradigma yang salah, sehingga wajar jika materi hukumnya pun sarat dengan pasal-pasal bermasalah.


Latar Belakang dan Tujuan disahkannya UU KDRT

Sebagaimana tercantum dalam isi Laporan Organisasi Non Pemerintah tentang Pelaksanaan Aksi Beijing 1995-2005 yang disusun oleh FORUM NGO Indonesia untuk BPFA+10 (Pebruari 2005), sejak tahun 1997-an, kalangan feminis yang tergabung dalam berbagai LSM/NGO memang telah intens melakukan berbagai upaya sosialisasi (baca: propaganda dan tekanan) mengenai urgensitas persoalan KDRT dan keharusan adanya proses legislasi yang mengarah pada upaya pencegahan dan perlindungan terpadu atas kasus-kasus tersebut. Hal ini dilatarbelakangi oleh kian maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama yang terjadi di lingkup rumahtangga, yang –dalam pandangan mereka-- seringkali disikapi secara salah oleh masyarakat dan kaum perempuan sendiri sebagai kelompok yang rentan menjadi korban. Selama ini, masyarakat masih menganggap kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada lingkup keluarganya sebagai persoalan pribadi yang tidak boleh dimasuki pihak luar. Bahkan sebagian masyarakat –termasuk perempuan yang menjadi korban— ada yang menganggap kasus-kasus tersebut bukan sebagai tindak kekerasan, akibat masih kuatnya budaya patriarki di tengah-tengah masyarakat yang selalu mengsub-ordinasi dan memberi pencitraan negatif terhadap perempuan sebagai pihak yang memang ‘layak’ dikorbankan dan dipandang sebatas “alas kaki di waktu siang dan alas tidur di waktu malam”.

Disisi lain, kalangan feminis juga memandang bahwa produk-produk hukum yang sementara ini ada –-semisal KUHP dan rancangan perubahannya, UU Perkawinan dan rancangan amandemennya, RUU Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain— sejak awal memang tidak diset untuk mengakomodir kepentingan perempuan, melainkan hanya diset untuk memihak dan melindungi nilai-nilai moralitas dan positivisme saja. Sebagai contoh, sampai saat ini ketentuan hukum yang ada masih memasukkan kasus kekerasan terhadap perempuan –seperti kasus perkosaan, perdagangan perempuan dan kasus pornografisme-- sebagai persoalan kesusilaan, bukan dalam kerangka melindungi intergritas tubuh perempuan yang justru seringkali menjadi korban. Implikasinya, selain memunculkan rasa ketidakadilan dalam hukum, juga tak jarang malah menempatkan perempuan yang menjadi korban sebagai pelaku kejahatan atau memberi celah untuk mengalami kekerasan berlipat ganda. Wajar jika pada tataran tertentu, hukum-hukum tersebut justru dianggap sebagai pengukuh atas marjinalisasi perempuan, yang meniscayakan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT terus berlangsung tanpa bisa ‘tersentuh’ oleh hukum.

Fakta-fakta inilah yang menginspirasi kalangan feminis sehingga merasa perlu melakukan pembaruan institusional dan hukum yang lebih memihak pada perempuan melalui langkah-langkah yang strategis dan sistematis. Pembaruan institusional yang mereka maksud adalah upaya-upaya mengubah pola budaya yang merendahkan perempuan, termasuk melalui kurikulum pendidikan, seraya menutup peluang penggunaan tradisi, norma dan tafsiran agama untuk menghindari kewajiban memberantasnya. Sementara pembaruan hukum diarahkan untuk menciptakan jaminan perlindungan, pencegahan dan pemberantasan kasus-kasus kekerasan melalui legalisasi produk hukum yang lebih berperspektif jender. Dalam hal ini, upaya strategis yang pertamakali mereka lakukan adalah mendesak pemerintah untuk membentuk sebuah komisi nasional yang bertugas memonitor tindakan pencegahan dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan, dimana upaya ini membuahkan hasil dengan keluarnya Kepres No. 181 tahun 1998 mengenai dibentuknya Komisi Nasional tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Selanjutnya, Komnas bersama LSM lain menyusun berbagai rencana aksi nasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, termasuk penghapusan kekerasan dalam rumahtangga, melalui penyusunan undang-undang terkait dengan isu-isu tersebut sekaligus melakukan advokasi panjang dan berbagai kampanye untuk mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat di berbagai lini, hingga salah satunya yakni RUU KDRT akhirnyal gol menjadi sebuah undang-undang.


Persoalan Paradigmatik di Balik UU KDRT

Jika dipandang sepintas lalu, keberadaan UU KDRT ini memang seolah memberi harapan baru bagi penyelesaian sebagian persoalan perempuan. Disamping karena undang-undang ini memuat berbagai aturan yang mengatur ihwal pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumahtangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumahtangga, seperti kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual dengan unsur-unsur tindak pidana khususnya yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan seperti yang ada dalam KUHP. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping atau pembimbing rohani untuk melindungi korban kekerasan agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan terciptanya keutuhan dan kerukunan rumahtangga sebagaimana yang diharapkan.

Persoalannya adalah jika dicermati secara mendalam, maka kita akan dapati berbagai celah hukum yang alih-alih memungkinkan undang-undang ini bisa memberi solusi atas persoalan masyarakat, malah keberadaannya bisa jadi akan memunculkan permasalahan baru, bahkan menjadi pelegitimasi atas penyimpangan-penyimpangan moral di tengah masyarakat. Hal ini terkait dengan lemahnya paradigma berpikir/perspektif yang mendasarinya beserta asumsi-asumsi dan definisi-definisi yang digunakan dalam membangun materi hukumnya.

Sebagaimana diketahui, sejak awal pihak yang paling antusias untuk menggolkan undang-undang ini adalah kalangan feminis yang senantiasa mengklaim ‘perjuangannya’ ini atasnama kepentingan perempuan. Oleh karenanya, wajar jika undang-undang inipun kental dengan paradigma feministik yang sangat mengagungkan ide kesetaraan jender, dimana ide ini senyatanya mengandung banyak kerancuan dan kebohongan karena dibangun di atas asumsi-asumsi yang rusak, rancu dan tidak sesuai dengan realitas. Kentalnya paradigma ini, antara lain nampak pada saat memandang akar masalah KDRT hanya sebatas isu ketimpangan jender, sehingga solusinyapun hanya berputar di sekitar persoalan keharusan membangun keadilan jender. Padahal jika ditelusuri, maraknya kasus KDRT dan persoalan perempuan lainnya, bahkan persoalan yang saat ini membelit masyarakat secara keseluruhan, sesungguhnya bersifat ideologis. Yakni merupakan ekses dari penerapan asas dan system hidup yang salah, yakni system hidup kapitalisme-sekuler yang juga menjadi spirit gagasan kesetaraan jender.

Disamping menyebabkan ketidakmampuan membaca akar, paradigma inipun hanya membangun asumsi-asumsi dan definisi-definisi yang dangkal terkait realita hukum KDRT, seperti mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan dan apa batasannya, apa perbedaan antara ‘kekerasan’ dalam kerangka ta’dib (mendidik) dengan kekerasan dalam konteks jarimah (kriminalitas) yang bisa terjadi dimanapun baik di dalam rumah tangga (KDRT) ataupun di luar rumahtangga (KLRT), dan lain-lain. Sehingga --entah disengaja atau tidak—materi hukum yang tertuang dalam UU KDRT banyak mengandung pasal karet yang multi interpretatif –termasuk untuk diinterpretasikan secara salah—, disamping terkesan mendistorsi (atau bahkan menyerang?) legalitas beberapa hukum Islam, terutama terkait dengan relasi antara laki-laki (sebagai suami) dan perempuan (sebagai isteri) dengan segala aturan mengenai hak dan kewajiban keduanya dalam lingkup sebuah keluarga, seperti masalah kepemimpinan suami atas isteri dan anak, hak dan kewajiban ta’dib dari suami atas isteri yang nusyuz, kewajiban isteri untuk taat kepada suami selama tidak memerintahkan maksiat, kebolehan berpoligami, masalah mahar, perwalian, pewarisan, penyunatan perempuan, dan lain lain. Dalam pandangan feministik, praktek-praktek seperti ini dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, sementara dalam pandangan Islam, semua ini merupakan sebagian aturan yang jika dikaitkan dengan aturan-aturan lainnya akan menjamin terbangunannya keluarga yang kokoh, saling menguatkan, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga inilah yang akan menjadi pilar penyangga masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang kuat dan berjaya.


Pasal-Pasal Bermasalah dalam UU KDRT dan Kritik Islam Atasnya

Setidaknya ada beberapa pasal bermasalah yang terdapat dalam UU KDRT, di antaranya Pasal 1 Bab I mengenai Ketentuan Umum yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumahtangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Sedangkan apa yang dimaksud dengan kekerasan fisik, seksual, psikologis dan penelantaran rumah tangga tersebut diatur dalam Bab III mengenai Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pasal 6, 7, 8 dan 9, yakni (pasal 6) bahwa kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat; (pasal 7) bahwa kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang; (pasal 8) bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumahtangga atau terhadap salah seorang dalam lingkup rumahtangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sementara Pasal 9 ayat 2, menyebutkan bahwa penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Selanjutnya dalam Bab VIII, mulai pasal 44 sampai 47 diatur mengenai sangsi pidana yang akan dikenakan kepada pelaku tindak KDRT berupa sanksi denda atau kurungan dengan besar dan lama bervariasi. Misalnya saja, kekerasan fisik dikenai denda mulai 5 hingga 45 juta rupiah atau dengan sanksi kurungan mulai dari 4 bulan sampai 15 tahun. Kekerasan psikis, dikenai denda antara 3 hingga 9 juta rupiah atau kurungan selama 4 bulan hingga 3 tahun. Kekerasan seksual (termasuk memaksa isteri) dikenai denda mulai dari 12 juta hingga 300 juta rupiah atau kurungan antara 4 sampai 15 tahun, atau jika menimbulkan luka, gangguan jiwa atau gugurnya janin akan dikurung 5 sampai 20 tahun atau denda 25 juta hingga 500 juta rupiah.

Jika dikaitkan dengan fakta, bahwa hukum Islam membolehkan seorang suami memukul isterinya yang nusyuz atau orangtua memukul anaknya yang sudah berumur 10 tahun manakala tidak mau shalat dengan ketentuan pukulan tersebut adalah dalam rangka ta’dib (mendidik) dan tidak melukai/menyakitkan, maka implementasi hukum tersebut dapat dikenai delik pelanggaran terhadap UU KDRT. Demikian pula dengan hukum poligami yang kebolehannya telah ditetapkan syara’, keharaman seorang isteri menolak ajakan suaminya ketika tidak ada uzur syar’iy atau hak suami melarang isterinya bekerja yang hukumnya boleh bagi perempuan, bisa dianggap melanggar ketentuan UU tersebut karena semuanya terkatagori tindak kekerasan seksual, psikhis dan penelantaran rumahtangga yang bisa dipidanakan dengan ketentuan sanksi seperti telah dijelaskan. Persoalannya, bisakah aturan yang dibuat oleh manusia ’mengalahkan’ hukum yang berasal dari Al-Khaliq?

Adanya upaya untuk menarik kasus kerumahtanggaan -- yang dalam Islam termasuk ahwal asy-syakhshiyah (perkara perdata)-- ke dalam tataran pidana (jârimah) seperti ini sebenarnya bisa berbahaya. Selain akan menggoyahkan dasar-dasar kehidupan pernikahan yang hakekatnya merupakan kehidupan persahabatan dan silaturrahmi dalam kerangka membangun ketaatan kepada Allah, juga akan memunculkan persoalan baru ketika hukum tersebut diterapkan, seperti bagaimana status isteri yang suaminya dipidana 12 tahun karena kasus KDRT atas pengaduan dirinya, apakah cerai atau tidak. Dan jika tidak, bagaimana dengan pelaksanaan hak dan kewajiban keduanya yang satu sama lain masih saling terikat. Kemudian bagaimana pula ketentuannya jika si isteri menyesal telah mengadukan suaminya, sementara tentang hal ini belum diatur ketentuannya dalam undang-undang, dan seterusnya.


Pandangan Islam

Islam memiliki tolok ukur yang jelas mengenai apakah suatu perbuatan termasuk tindak kejahatan (jarimah) yang tercela atau tidak, berikut sanksi-sanksinya. Tolok ukur tersebut adalah hokum syara yang bebas dari perspektif apapun, termasuk jender atau bukan jender. Oleh karenanya, dalam konteks kekerasan, Islam membedakan antara kekerasan yang termasuk dalam katagori tindakan criminal/kejahatan (jarimah) dengan ‘kekerasan’ yang bukan criminal, seperti ‘kekerasan’ dalam kerangka ta’dib (mendidik) yang dilakukan suami atas isteri yang nusyudz atau yang dilakukan orangtua kepada anaknya yang tidak mau sholat ketika sudah berumur 10 tahun.
Terhadap tindak kekerasan yang terkatagori criminal, maka Islam tidak membedakan siapa korban dan siapa pelakunya. Begitu pula tidak membedakan apakah terjadi di lingkup rumahtangga (KDRT) atau di luar rumahtangga (KLRT). Setiap pelanggaran akan dikenai sanksi/uqubat sesuai jenis kejahatan yang dilakukannya.

Dengan membandingkan dua aturan ini, maka kian jelas bahwa kritik atas UU KDRT memang bersifat paradigmatik. UU KDRT tegak diatas asumsi-asumsi bathil yang lahir dari aqidah yang bathil (yakni sekulerisme), yang menafikan hak Allah sebagai Al-Khaliq dalam mengatur kehidupan, sementara Islam tegak di atas keyakinan (bukan asumsi) bahwa hanya Allah sebagai Al-Khaliqlah yang berhak membuat aturan hukum. Selain itu, UU KDRT tidak memberi jaminan atas penyelesaian persoalan masyarakat dengan penyelesaian yang tuntas karena lahir dari keterbatasan akal manusia, sementara Islam dipastikan menjadi solusi tuntas atas seluruh persoalan manusia sehingga akan memberi maslahat bagi kehidupan, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan, karena Islam datang dari Dzat Yang Menciptakan Manusia, Maha Sempurna, Maha Mengetahui, dan Maha Adil.


Khotimah

Pada akhirnya, implementasi UU KDRT memang akan lebih banyak bersinggungan dengan aturan-aturan Islam mengenai keluarga. Sehingga fakta-fakta inilah yang menguatkan konklusi sebahagian pihak yang menganggap, bahwa keberadaan UU KDRT beserta isu-isu yang menyertainya merupakan bagian dari perang pemikiran dan kebudayaan yang dilancarkan pendukung kapitalis-sekuler atas ideology Islam. Dalam hal ini, yang menjadi sasaran bidik adalah hukum-hukum Islam tentang keluarga dan rumahtangga karena pada saat tidak adanya system Islam, keluarga memang menjadi benteng terakhir dalam perjuangan menegakkan syari’at Islam.

Walhasil, kontroversi UU KDRT sebenarnya bukan semata-mata persoalan hukum, tapi lebih bersifat politis/ideologis, sehingga tentu harus dihadapi dengan langkah politis dan ideologis pula. Yakni dengan melakukan upaya penyadaran ke tengah-tengah masyarakat tentang rusaknya berbagai pemikiran yang ditawarkan, disamping secara terus-menerus memberikan gambaran tentang pemikiran Islam ideology yang jernih beserta gambaran penerapannya dalam kehidupan. Dengan cara ini, diharapkan masyarakat akan kian percaya, bahwa Islamlah satu-satunya aturan yang layak diterapkan, dan merekapun siap memperjuangkannya, di samping mereka punya barrier yang kuat untuk menolak setiap propaganda kekufuran. Terlebih-lebih lagi, dipastikan bahwa upaya kelompok sekuleris ini tidak akan berhenti sampai di sini. Bahkan dalam konteks Indonesia, setidaknya untuk jangka dekat mereka sudah menyiapkan berbagai agenda serupa, diantaranya menyiapkan beberapa RUU yang menyangkut kepentingan strategis perempuan, seperti RUU KUHP menggantikan KUHP, Amandemen UU no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, RUU Pornografi dan Pornoaksi, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Amandemen UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan dan Keimigrasian serta RUU Perlindungan Saksi yang kesemuanya memiliki spirit yang sama, yakni spirit sekularisme yang siap menohok Islam.
Wallahu a’lam.


28 Januari 2010
BEBERAPA KRITIK ATAS UU PKDRT
BEBERAPA KRITIK ATAS UU No. 23/2004 TENTANG PKDRT
Siti Nafidah


Pengantar

Tanggal 22 September 2004 bisa jadi merupakan tanggal bersejarah bagi kalangan feminis di Indonesia. Setidaknya, satu dari sekian banyak agenda perjuangan mereka yang terkait dengan isu perempuan –yakni upaya pencegahan dan penghapusan (isu) Kekerasan Dalam Rumah Tangga -- akhirnya membuahkan hasil. Pemerintah dan DPR RI akhirnya sepakat untuk mengesahkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau dikenal dengan UU KDRT.

Hanya saja, seperti yang sudah diduga sebelumnya, pengesahan undang-undang ini akhirnya memang banyak menuai kontroversi. Selain banyak kalangan yang merasa ‘kecolongan’, mereka juga menilai keberadaan UU yang disebut-sebut berharga 6 milyar rupiah dan disponsori penuh oleh The Asia Foundation ini terbangun di atas paradigma yang salah, sehingga wajar jika materi hukumnya pun sarat dengan pasal-pasal bermasalah.


Latar Belakang dan Tujuan disahkannya UU KDRT

Sebagaimana tercantum dalam isi Laporan Organisasi Non Pemerintah tentang Pelaksanaan Aksi Beijing 1995-2005 yang disusun oleh FORUM NGO Indonesia untuk BPFA+10 (Pebruari 2005), sejak tahun 1997-an, kalangan feminis yang tergabung dalam berbagai LSM/NGO memang telah intens melakukan berbagai upaya sosialisasi (baca: propaganda dan tekanan) mengenai urgensitas persoalan KDRT dan keharusan adanya proses legislasi yang mengarah pada upaya pencegahan dan perlindungan terpadu atas kasus-kasus tersebut. Hal ini dilatarbelakangi oleh kian maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama yang terjadi di lingkup rumahtangga, yang –dalam pandangan mereka-- seringkali disikapi secara salah oleh masyarakat dan kaum perempuan sendiri sebagai kelompok yang rentan menjadi korban. Selama ini, masyarakat masih menganggap kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada lingkup keluarganya sebagai persoalan pribadi yang tidak boleh dimasuki pihak luar. Bahkan sebagian masyarakat –termasuk perempuan yang menjadi korban— ada yang menganggap kasus-kasus tersebut bukan sebagai tindak kekerasan, akibat masih kuatnya budaya patriarki di tengah-tengah masyarakat yang selalu mengsub-ordinasi dan memberi pencitraan negatif terhadap perempuan sebagai pihak yang memang ‘layak’ dikorbankan dan dipandang sebatas “alas kaki di waktu siang dan alas tidur di waktu malam”.

Disisi lain, kalangan feminis juga memandang bahwa produk-produk hukum yang sementara ini ada –-semisal KUHP dan rancangan perubahannya, UU Perkawinan dan rancangan amandemennya, RUU Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain— sejak awal memang tidak diset untuk mengakomodir kepentingan perempuan, melainkan hanya diset untuk memihak dan melindungi nilai-nilai moralitas dan positivisme saja. Sebagai contoh, sampai saat ini ketentuan hukum yang ada masih memasukkan kasus kekerasan terhadap perempuan –seperti kasus perkosaan, perdagangan perempuan dan kasus pornografisme-- sebagai persoalan kesusilaan, bukan dalam kerangka melindungi intergritas tubuh perempuan yang justru seringkali menjadi korban. Implikasinya, selain memunculkan rasa ketidakadilan dalam hukum, juga tak jarang malah menempatkan perempuan yang menjadi korban sebagai pelaku kejahatan atau memberi celah untuk mengalami kekerasan berlipat ganda. Wajar jika pada tataran tertentu, hukum-hukum tersebut justru dianggap sebagai pengukuh atas marjinalisasi perempuan, yang meniscayakan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT terus berlangsung tanpa bisa ‘tersentuh’ oleh hukum.

Fakta-fakta inilah yang menginspirasi kalangan feminis sehingga merasa perlu melakukan pembaruan institusional dan hukum yang lebih memihak pada perempuan melalui langkah-langkah yang strategis dan sistematis. Pembaruan institusional yang mereka maksud adalah upaya-upaya mengubah pola budaya yang merendahkan perempuan, termasuk melalui kurikulum pendidikan, seraya menutup peluang penggunaan tradisi, norma dan tafsiran agama untuk menghindari kewajiban memberantasnya. Sementara pembaruan hukum diarahkan untuk menciptakan jaminan perlindungan, pencegahan dan pemberantasan kasus-kasus kekerasan melalui legalisasi produk hukum yang lebih berperspektif jender. Dalam hal ini, upaya strategis yang pertamakali mereka lakukan adalah mendesak pemerintah untuk membentuk sebuah komisi nasional yang bertugas memonitor tindakan pencegahan dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan, dimana upaya ini membuahkan hasil dengan keluarnya Kepres No. 181 tahun 1998 mengenai dibentuknya Komisi Nasional tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Selanjutnya, Komnas bersama LSM lain menyusun berbagai rencana aksi nasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, termasuk penghapusan kekerasan dalam rumahtangga, melalui penyusunan undang-undang terkait dengan isu-isu tersebut sekaligus melakukan advokasi panjang dan berbagai kampanye untuk mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat di berbagai lini, hingga salah satunya yakni RUU KDRT akhirnyal gol menjadi sebuah undang-undang.


Persoalan Paradigmatik di Balik UU KDRT

Jika dipandang sepintas lalu, keberadaan UU KDRT ini memang seolah memberi harapan baru bagi penyelesaian sebagian persoalan perempuan. Disamping karena undang-undang ini memuat berbagai aturan yang mengatur ihwal pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumahtangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumahtangga, seperti kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual dengan unsur-unsur tindak pidana khususnya yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan seperti yang ada dalam KUHP. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping atau pembimbing rohani untuk melindungi korban kekerasan agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan terciptanya keutuhan dan kerukunan rumahtangga sebagaimana yang diharapkan.

Persoalannya adalah jika dicermati secara mendalam, maka kita akan dapati berbagai celah hukum yang alih-alih memungkinkan undang-undang ini bisa memberi solusi atas persoalan masyarakat, malah keberadaannya bisa jadi akan memunculkan permasalahan baru, bahkan menjadi pelegitimasi atas penyimpangan-penyimpangan moral di tengah masyarakat. Hal ini terkait dengan lemahnya paradigma berpikir/perspektif yang mendasarinya beserta asumsi-asumsi dan definisi-definisi yang digunakan dalam membangun materi hukumnya.

Sebagaimana diketahui, sejak awal pihak yang paling antusias untuk menggolkan undang-undang ini adalah kalangan feminis yang senantiasa mengklaim ‘perjuangannya’ ini atasnama kepentingan perempuan. Oleh karenanya, wajar jika undang-undang inipun kental dengan paradigma feministik yang sangat mengagungkan ide kesetaraan jender, dimana ide ini senyatanya mengandung banyak kerancuan dan kebohongan karena dibangun di atas asumsi-asumsi yang rusak, rancu dan tidak sesuai dengan realitas. Kentalnya paradigma ini, antara lain nampak pada saat memandang akar masalah KDRT hanya sebatas isu ketimpangan jender, sehingga solusinyapun hanya berputar di sekitar persoalan keharusan membangun keadilan jender. Padahal jika ditelusuri, maraknya kasus KDRT dan persoalan perempuan lainnya, bahkan persoalan yang saat ini membelit masyarakat secara keseluruhan, sesungguhnya bersifat ideologis. Yakni merupakan ekses dari penerapan asas dan system hidup yang salah, yakni system hidup kapitalisme-sekuler yang juga menjadi spirit gagasan kesetaraan jender.

Disamping menyebabkan ketidakmampuan membaca akar, paradigma inipun hanya membangun asumsi-asumsi dan definisi-definisi yang dangkal terkait realita hukum KDRT, seperti mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan dan apa batasannya, apa perbedaan antara ‘kekerasan’ dalam kerangka ta’dib (mendidik) dengan kekerasan dalam konteks jarimah (kriminalitas) yang bisa terjadi dimanapun baik di dalam rumah tangga (KDRT) ataupun di luar rumahtangga (KLRT), dan lain-lain. Sehingga --entah disengaja atau tidak—materi hukum yang tertuang dalam UU KDRT banyak mengandung pasal karet yang multi interpretatif –termasuk untuk diinterpretasikan secara salah—, disamping terkesan mendistorsi (atau bahkan menyerang?) legalitas beberapa hukum Islam, terutama terkait dengan relasi antara laki-laki (sebagai suami) dan perempuan (sebagai isteri) dengan segala aturan mengenai hak dan kewajiban keduanya dalam lingkup sebuah keluarga, seperti masalah kepemimpinan suami atas isteri dan anak, hak dan kewajiban ta’dib dari suami atas isteri yang nusyuz, kewajiban isteri untuk taat kepada suami selama tidak memerintahkan maksiat, kebolehan berpoligami, masalah mahar, perwalian, pewarisan, penyunatan perempuan, dan lain lain. Dalam pandangan feministik, praktek-praktek seperti ini dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, sementara dalam pandangan Islam, semua ini merupakan sebagian aturan yang jika dikaitkan dengan aturan-aturan lainnya akan menjamin terbangunannya keluarga yang kokoh, saling menguatkan, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga inilah yang akan menjadi pilar penyangga masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang kuat dan berjaya.


Pasal-Pasal Bermasalah dalam UU KDRT dan Kritik Islam Atasnya

Setidaknya ada beberapa pasal bermasalah yang terdapat dalam UU KDRT, di antaranya Pasal 1 Bab I mengenai Ketentuan Umum yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumahtangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Sedangkan apa yang dimaksud dengan kekerasan fisik, seksual, psikologis dan penelantaran rumah tangga tersebut diatur dalam Bab III mengenai Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pasal 6, 7, 8 dan 9, yakni (pasal 6) bahwa kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat; (pasal 7) bahwa kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang; (pasal 8) bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumahtangga atau terhadap salah seorang dalam lingkup rumahtangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sementara Pasal 9 ayat 2, menyebutkan bahwa penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Selanjutnya dalam Bab VIII, mulai pasal 44 sampai 47 diatur mengenai sangsi pidana yang akan dikenakan kepada pelaku tindak KDRT berupa sanksi denda atau kurungan dengan besar dan lama bervariasi. Misalnya saja, kekerasan fisik dikenai denda mulai 5 hingga 45 juta rupiah atau dengan sanksi kurungan mulai dari 4 bulan sampai 15 tahun. Kekerasan psikis, dikenai denda antara 3 hingga 9 juta rupiah atau kurungan selama 4 bulan hingga 3 tahun. Kekerasan seksual (termasuk memaksa isteri) dikenai denda mulai dari 12 juta hingga 300 juta rupiah atau kurungan antara 4 sampai 15 tahun, atau jika menimbulkan luka, gangguan jiwa atau gugurnya janin akan dikurung 5 sampai 20 tahun atau denda 25 juta hingga 500 juta rupiah.

Jika dikaitkan dengan fakta, bahwa hukum Islam membolehkan seorang suami memukul isterinya yang nusyuz atau orangtua memukul anaknya yang sudah berumur 10 tahun manakala tidak mau shalat dengan ketentuan pukulan tersebut adalah dalam rangka ta’dib (mendidik) dan tidak melukai/menyakitkan, maka implementasi hukum tersebut dapat dikenai delik pelanggaran terhadap UU KDRT. Demikian pula dengan hukum poligami yang kebolehannya telah ditetapkan syara’, keharaman seorang isteri menolak ajakan suaminya ketika tidak ada uzur syar’iy atau hak suami melarang isterinya bekerja yang hukumnya boleh bagi perempuan, bisa dianggap melanggar ketentuan UU tersebut karena semuanya terkatagori tindak kekerasan seksual, psikhis dan penelantaran rumahtangga yang bisa dipidanakan dengan ketentuan sanksi seperti telah dijelaskan. Persoalannya, bisakah aturan yang dibuat oleh manusia ’mengalahkan’ hukum yang berasal dari Al-Khaliq?

Adanya upaya untuk menarik kasus kerumahtanggaan -- yang dalam Islam termasuk ahwal asy-syakhshiyah (perkara perdata)-- ke dalam tataran pidana (jârimah) seperti ini sebenarnya bisa berbahaya. Selain akan menggoyahkan dasar-dasar kehidupan pernikahan yang hakekatnya merupakan kehidupan persahabatan dan silaturrahmi dalam kerangka membangun ketaatan kepada Allah, juga akan memunculkan persoalan baru ketika hukum tersebut diterapkan, seperti bagaimana status isteri yang suaminya dipidana 12 tahun karena kasus KDRT atas pengaduan dirinya, apakah cerai atau tidak. Dan jika tidak, bagaimana dengan pelaksanaan hak dan kewajiban keduanya yang satu sama lain masih saling terikat. Kemudian bagaimana pula ketentuannya jika si isteri menyesal telah mengadukan suaminya, sementara tentang hal ini belum diatur ketentuannya dalam undang-undang, dan seterusnya.


Pandangan Islam

Islam memiliki tolok ukur yang jelas mengenai apakah suatu perbuatan termasuk tindak kejahatan (jarimah) yang tercela atau tidak, berikut sanksi-sanksinya. Tolok ukur tersebut adalah hokum syara yang bebas dari perspektif apapun, termasuk jender atau bukan jender. Oleh karenanya, dalam konteks kekerasan, Islam membedakan antara kekerasan yang termasuk dalam katagori tindakan criminal/kejahatan (jarimah) dengan ‘kekerasan’ yang bukan criminal, seperti ‘kekerasan’ dalam kerangka ta’dib (mendidik) yang dilakukan suami atas isteri yang nusyudz atau yang dilakukan orangtua kepada anaknya yang tidak mau sholat ketika sudah berumur 10 tahun.
Terhadap tindak kekerasan yang terkatagori criminal, maka Islam tidak membedakan siapa korban dan siapa pelakunya. Begitu pula tidak membedakan apakah terjadi di lingkup rumahtangga (KDRT) atau di luar rumahtangga (KLRT). Setiap pelanggaran akan dikenai sanksi/uqubat sesuai jenis kejahatan yang dilakukannya.

Dengan membandingkan dua aturan ini, maka kian jelas bahwa kritik atas UU KDRT memang bersifat paradigmatik. UU KDRT tegak diatas asumsi-asumsi bathil yang lahir dari aqidah yang bathil (yakni sekulerisme), yang menafikan hak Allah sebagai Al-Khaliq dalam mengatur kehidupan, sementara Islam tegak di atas keyakinan (bukan asumsi) bahwa hanya Allah sebagai Al-Khaliqlah yang berhak membuat aturan hukum. Selain itu, UU KDRT tidak memberi jaminan atas penyelesaian persoalan masyarakat dengan penyelesaian yang tuntas karena lahir dari keterbatasan akal manusia, sementara Islam dipastikan menjadi solusi tuntas atas seluruh persoalan manusia sehingga akan memberi maslahat bagi kehidupan, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan, karena Islam datang dari Dzat Yang Menciptakan Manusia, Maha Sempurna, Maha Mengetahui, dan Maha Adil.


Khotimah

Pada akhirnya, implementasi UU KDRT memang akan lebih banyak bersinggungan dengan aturan-aturan Islam mengenai keluarga. Sehingga fakta-fakta inilah yang menguatkan konklusi sebahagian pihak yang menganggap, bahwa keberadaan UU KDRT beserta isu-isu yang menyertainya merupakan bagian dari perang pemikiran dan kebudayaan yang dilancarkan pendukung kapitalis-sekuler atas ideology Islam. Dalam hal ini, yang menjadi sasaran bidik adalah hukum-hukum Islam tentang keluarga dan rumahtangga karena pada saat tidak adanya system Islam, keluarga memang menjadi benteng terakhir dalam perjuangan menegakkan syari’at Islam.

Walhasil, kontroversi UU KDRT sebenarnya bukan semata-mata persoalan hukum, tapi lebih bersifat politis/ideologis, sehingga tentu harus dihadapi dengan langkah politis dan ideologis pula. Yakni dengan melakukan upaya penyadaran ke tengah-tengah masyarakat tentang rusaknya berbagai pemikiran yang ditawarkan, disamping secara terus-menerus memberikan gambaran tentang pemikiran Islam ideology yang jernih beserta gambaran penerapannya dalam kehidupan. Dengan cara ini, diharapkan masyarakat akan kian percaya, bahwa Islamlah satu-satunya aturan yang layak diterapkan, dan merekapun siap memperjuangkannya, di samping mereka punya barrier yang kuat untuk menolak setiap propaganda kekufuran. Terlebih-lebih lagi, dipastikan bahwa upaya kelompok sekuleris ini tidak akan berhenti sampai di sini. Bahkan dalam konteks Indonesia, setidaknya untuk jangka dekat mereka sudah menyiapkan berbagai agenda serupa, diantaranya menyiapkan beberapa RUU yang menyangkut kepentingan strategis perempuan, seperti RUU KUHP menggantikan KUHP, Amandemen UU no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, RUU Pornografi dan Pornoaksi, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Amandemen UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan dan Keimigrasian serta RUU Perlindungan Saksi yang kesemuanya memiliki spirit yang sama, yakni spirit sekularisme yang siap menohok Islam.
Wallahu a’lam.


Rabu, 27 Januari 2010

Contoh Gugatan Wanprestasi
















Kepada Yth,
Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta …………………….
di Jakarta
Hal : Gugatan Wanprestasi

Dengan hormat,
Untuk dan atas nama klien kami ……………………… …………………………………………Advokat dan pembela Umum yang tergabung dalam …………………………………………….., berdasarkan surat kuasa khusus (terlampir), dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama:
1. Nama :
Alamat :

Dengan ini mengajukan Gugatan Wanprestasi terhadap :
1. ……………………, beralamat di Jl. ……………………. Jakarta ………………., untuk selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT-I.
2. ……………………, berlamat di Jln. ………………………. Jakarta ……….., dan untuk selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT-II.

DALAM POSITA

Adapun alasan, dalil serta landasan yuridis Penggugat untuk mengajukan gugatan ini adalah sebagai berikut :
1. Bahwa, Tergugat-II, semula adalah Direktur Utama dari Tergugat-I, yang bergerak di bidang ……………………… yang menjalankan kegiatan usaha antara lain berupa ………. dengan cara cicilan/angsuran untuk pembelian …………………… berdasarkan kontrak atau perjanjian lainnya.
2. Bahwa, Tergugat-II ………………………………………………………………………………………………………………………………..
3. Bahwa, Tergugat-I melalui Tergugat-II dalam beberapa kali presentasi dengan begitu meyakinkan, apalagi Tergugat disamping sebagai Direksi Perusahaan tersebut bersama-sama dengan pemegang saham lainnya menjamin usaha tersebut dengan jaminan harta kekayaan pribadinya masing-masing (Bukti-P.1).
4. Bahwa, karena prospek usaha ………………… nampak baik pada waktu itu dan ada jaminan yang diberikan tersebut di atas, maka Penggugat dan Tergugat-I yang diwakili oleh Tergugat-II sepakat mengikatkan dirinya untuk terikat dalam kontrak Perjanjian Kredit No. ………………………. sebesar Rp. 0.000.000.000,- (0 milyar Rupiah) tanggal ……………………… yang telah disahkan oleh Notaris ……………………… dibawah No. ……………… (”Perjanjian Kredit”) (Bukti-P.2) dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie) Tagihan tanggal ……………………. yang telah disahkan oleh Notaris ………………………….. dibawah No…………….. (Bukti-P.3).
5. Bahwa, sejak Perjanjian Kredit ditandatangani, maka terlihat kegiatan usaha Perusahaan berkembang baik, bahkan usaha Tergugat-I menunjukkan terdapat banyak peningkatan jumlah nasabahnya, karena itu Perusahaan memerlukan tambahan biaya lagi. Bahwa karena hal tersebut, maka tahun …………… berturut-turut Penggugat mengucurkan dana lagi kepada Tergugat-I yaitu sebagai berikut :
a. Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No………… tanggal ……………(Perubahan I), dimana plafond kredit ditambah Rp. 0.000.000.000,- (0milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan I menjadi sebesar Rp. 00.000.000.000,- (00 milyar Rupiah); [bukti-P.4]
b. Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No………………. tanggal ………………….. (Perubahan II), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 0.000.000.000,- (0 milayar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan II menjadi sebesar Rp. 00.000.000.000,- (0 miiyar Rupiah);(Bukti-P.5)
c. Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No…………. tanggal ………….. (Perubahan III), dimana plafond kreditnya ditambah Rp.0.000.00.0.000,- (0 milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan III menjadi sebesar Rp. 0.000.000.000,- (0 milyar Rupiah). (Bukti P.6)
6. Bahwa, sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Kredit pada butir …………..diatas telah disepakati sebagai berikut bahwa “……………………………………………………………………….. …………………………………..;
7. Bahwa Para Tergugat kemudian secara diam-diam merubah anggaran dasar Perseroan tanpa seizin tertulis Penggugat pada tanggal ……………….., tindakan Para Tergugat ini jelas bertentangan dengan butir …….. Perjanjian Kredit (vide Bukti P. 2).
8. Bahwa, karena Perjanjian Kredit tersebut telah disepakati antara Penggugat dengan Tergugat yang waktu itu berkapasitas sebagai pihak yang mewakili Perusahaan, karenanya sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Perjanjian Kredit tersebut harus ditaati oleh kedua pihak. Oleh karena itu tindakan perubahan anggaran dasar tanpa ada persetujuan tertulis dari Penggugat, adalah batal demi hukum.
9. Bahwa, kemudian diketahui setelah pengalihan Dewan Direksi tersebut dimaksudkan agar Tergugat-II tidak bertanggung jawab lagi ………………………………………………………..
10. Bahwa, ternyata setelah dilakukan pemeriksaan keuangan oleh Penggugat, dana kredit yang telah Penggugat berikan tidak dapat di-per-tanggung-jawab-kan lagi oleh Tergugat II, yang pada waktu itu berkapasitas sebagai Direktur Utama dari Tergugat- I, karena nampak berusaha untuk mengalihkan tanggung jawabnya pada pihak lain.
11.Bahwa, setelah Penggugat berkali-kali menghubungi para Tergugat untuk menyelesaikan tanggung jawab pengembalian kredit tersebut, ternyata tidak ada tanggapan yang baik dari Tergugat-I dan Tergugat-II untuk menyelesaikan.
12.Bahwa, Penggugat pada tanggal …………….. mendapat surat pemberitahuan dari 2 (dua) orang pemegang saham Perusahaan yang pada pokoknya menyatakan bila Tergugat-II adalah penanggung jawab dalam Perusahaan (vide bukti P. 7) .
13. Bahwa, wajar bila Penggugat dalam hal ini hanya menuntut tanggung jawab Tergugat-II karena dalam penandatanganan Perjanjian Kredit, segala perubahan Perjanjian Kredit, dan Perjanjian pengalihan Hak (cessie) Tagihan (vide bukti P.2 s/d P.6) dilakukan Tergugat-II, demikian pula pengelolaan uang dari tanggal ………………. sampai dengan tanggal …………….. berada dalam tanggung jawab Tergugat-II, sedangkan gugatan terhadap pengurus atau pemegang saham lain akan dilakukan dalam gugatan tersendiri.
14.Bahwa dengan demikian dalam penandatanganan Perjanjian Kredit tersebut maupun pengelolaan keuangan pada waktu itu berada dalam tanggung jawab Tergugat-II dan telah terbukti bahwa Tergugat-II telah lalai dalam menjalankan kewajibannya. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal ………ayat ………dan ……..Undang-Undang No. ………. tentang ……………….., Tergugat-II dapat dituntut untuk bertanggung jawab penuh secara pribadi.
15. Bahwa kerugian akibat kredit macet yang diderita Penggugat per tanggal ………………………………………… dengan perincian sebagai berikut:
• … ……………………………….
• … ………………………………
• … ………………………………

16. Bahwa, karena ada jaminan pribadi dari Tergugat-II (vide P.1) dan dengan adanya surat dari pemegang saham lainnya (vide P.7) dimana pengurusan dari pengelolaan pinjaman kredit pada waktu itu berada ditangan Tergugat-II, maka secara hukum baik Tergugat-I maupun Tergugat-II bertanggung jawab secara tanggung renteng.
17. Bahwa, untuk menjamin agar gugatan ini tidak sia-sia dan guna menghindari usaha tergugat untuk mengalihkan hartanya pada pihak lain, maka Penggugat mohon agar dapat dilakukan sita jaminan terhadap:
a. Sebidang tanah dan bangunan____________(milik Tergugat-I);
b. Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jl. ………….Jakarta ………………. yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta ………….. atas nama Tergugat-II;
c. Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jln……………. Jakarta …………. yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta ………….atas nama Tergugat-II.
18.Bahwa, karena gugatan ini didukung bukti-bukti yang otentik, maka Penggugat mohon agar putusan perkara ini dapat dijalankan lebih dulu walau ada banding, kasasi maupun verzet (iut voerbaar bij -voorraad).
19. Bahwa, wajar pula bila Penggugat membebankan adanya uang paksa (dwangsom) yang harus dibayar Tergugat bila lalai dalam melaksanakan putusan ini yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu sebesar Rp. …..000.000,- (0 juta) per hari.
PETITUM
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka Penggugat dengan segala kerendahan hati mohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkenan untuk memutuskan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan wanprestasi;
3. Menyatakan secara hukum Tergugat sebagai salah satu pemegang saham yang turut bertanggung jawab secara pribadi atas Perjanjian Kredit (berikut segala perubahannya dan perjanjian yang terkait (vide P.2 s.d. P.6) yang dibuat antara Perusahaan dengan Penggugat;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp.____________ kepada Penggugat secara tunai;
5. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan;
6. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dulu walau ada banding, kasasi, maupun verzet (iut voerbaar bij voorraai);
7. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp. seratus juta Rupiah per.hari bila Ialai dalam melaksanakan putusan ini, terhitung sejak tanggal putusan perkara ini sampai dengan tanggal dilunasinya seluruh hutangnya;
8. Meghukum Tergugatuntuk membayar segala biaya perkara yang timbul dalam perkara ini

Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (EX
AQUO ET BONO)

Kormat kami,
Kuasa Hukum Penggugat


PERJANJIAN KONTRAK RUMAH

Kami yang bertanda tangan dibawah ini :

1. Nama : Edwin Oscar
Agama : Islam
Alamat : Perum. Peputra Indah II Blok. F No. 151 Simpang Tiga
Kec. Bukit Raya, Pekanbaru, Riau.
Pekerjaan : PNS Kejaksaan Tinggi Riau
Selanjutnya disebut sebagai pihak pertama / pemilik

2. Nama : Yelda Puteri Pratama
Agama : Islam
Alamat : Jln. Unggas, Perum. Bumi Simpang Tiga Tahap. II Blok D.1
No. 7 Simpang Tiga, Kec. Bukit Raya, Pekanbaru, Riau.
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Selanjutnya disebut sebagai pihak kedua / penyewa rumah

Pasal. 1
Pihak pertama mengontrakan sebuah Rumah kepada pihak kedua pada Alamat Perumahan PANORAMA BUKIT RAYA Blok. D No. 7, Harapan Raya, Kec. Bukit Raya, Pekanbaru Terhitung mulai tanggal 2 Januari 2010 sampai dengan 2 Juli 2010. Pihak kedua telah membayar lunas kepada pihak pertama sebesar Rp. 1.800.000. ( satu juta delapan ratus ribu rupiah ) untuk masa kontrak 6 enam bulan).

Pasal. 2
Pihak kedua berkewajiban untuk memelihara bangunan sebaik-baiknya, segala kerusakan yang timbul selama perjanjian ini, menjadi kewajiban pihak kedua untuk perbaikannya, menggantinya dengan biaya sepenuhnya tanggung jawab pihak kedua.

Pasal. 3
Selama masa kontrak berlaku, segala kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rumah tersebut diatas, merupakan kewajiban pihak kedua, baik kewajiban membayar listrik, keamanan, kebersihan serta sejenis.

Pasal. 4
Apabila kewajiban diatas yang dimaksud dalam pasal. 3 dilalaikan oleh pihak kedua, berakibat adanya sangsi atas fasilitas yang ada, maka pihak kedua harus menyeleseikan sampai pulih seperti keadaan sebelum dikontrakan paling lambat 30 hari sebelum kontrak berakhir.

Pasal. 5
Khusus untuk pembayaran listrik, pihak kedua akan tetap membayar rekening listrik satu bulan terakhir dan rekening listrik akan diserahkan kepada pihak pertama setelah lunas dibayar sebagai arsip.

Pasal. 6
Pihak kedua tidak diperkenankan untuk mengadakan perubahan atau tambahan pada bangunan tersebut atau memindah sewakan kepada pihak lain, kecuali pada izin tertulis dari pihak pertama.

Pasal. 7
Jika masa kontrak berakhir, pihak kedua berkewajiban untuk menyerahkan rumah beserta pekarangannya tersebut tanpa syarat-syarat apapun kepada pihak pertama dalam keadaan baik, terpelihara dan kosong dari seluruh penghuninya.

Pasal. 8
Untuk perpanjangan kontrak, pihak kedua harus memberi tahukan kepada pihak pertama satu bulan sebelum masa berlakunya habis dan akan dibuatkan perjanjian baru sebagai pengganti perjanjian ini.

Pasal. 9
Untuk pemutusan kontrak sebelum masa kontrak berakhir memberi tahukan satu bulan sebelumnya kontrakan berakhir.

Pasal. 10
Dalam pemutusan kontrak sebelum habis masa berlakunya dalam Pasal. 1 (Satu) maka pihak pertama tidak mengembalikan sisa uang kontrakan, dan pihak kedua tidak menuntut pihak pertama.

Pasal. 11
Demikianlah perjanjian kontrak rumah ini kami buat dengan sebenarnya tanpa paksaan dari siapapun.

Pekanbaru, 1 Januari 2010

Pihak pertama (1). Pihak kedua (2).


( Edwin Oscar ). ( Yelda Puteri Pratama )

Saksi-saksi :

Saksi pertama (1). Saksi kedua (2).



( Dody Putra ) ( Muhammad Nasir )


Dibuat oleh :
Nama : Edwin Oscar
NPM : 0310041600182
Semester : VII
Fakultas : Hukum
Univesitas : Lancang Kuning

Contoh Surat Gugatan Perceraian

Kepada Yth:

Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Agama Pekanbaru

Di -
Pekanbaru



Dengan hormat

Bersama ini, saya Edwin Oscar, agama Islam, umur 31 tahun, pekerjaan PNS, beralamat di Jl. T. Bey, Perum. Peputra Indah II, Pekanbaru, selanjutnya akan disebut sebagai PENGGUGAT

Dengan ini penggugat hendak mengajukan gugatan perceraian terhadap

Ali Mukti, agama Islam, umur 35 tahun, pekerjaan swasta, berlamat di Jl. Mukti Timur No 13, Pesanggarahan Jakarta Barat, yang untuk selanjutnya akan disebut sebagai TERGUGAT

Adapun yang menjadi dasar-dasar dan alas an diajukannya gugatan perceraian adalah sebagai berikut:

1. Pada 5 Januari 2005, Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan perkawinan dan tercatat di Kantor Urusan Agama Petukangan Jakarta Selatan dengan Akta Perkawinan dengan nomor ______tertanggal_________
2. Selama melangsungkan perkawinan Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai 2 orang anak yaitu: Nugroho Mukti, laki-laki, lahir di Jakarta Selatan, tanggal_______dengan Akta Kelahiran No_____tertanggal_____ dan Sari Mukti, perempuan, lahir di Jakarta Selatan, tanggal_____dengan Akta Kelahiran No_______tertanggal_____
3. Sejak awal perkawinan berlangsung, Tergugat telah memiliki kebiasaan dan sifat yang baru diketahui oleh Penggugat saat perkawinan berlangsung yaitu mabuk, kasar, sering memukul serta selalu pulang larut tanpa alasan yang jelas
4. Meski Tergugat bekerja, namun sebagian besar penghasilannya dipergunakan tidak untuk kepentingan dan nafkah anak dan istrinya
5. Apabila Penggugat memberikan nasehat, Tergugat bukannya tersadar serta mengubah kebiasaan buruknya namun melakukan pemukulan terhadap Penggugat di depan anak-anak Penggugat/Tergugat yang masih kecil-kecil
6. Kebiasaan kasar Tergugat makin menjadi setelah kelahiran anak kedua dari Penggugat/Tergugat
7. Tergugat juga tidak pernah mendengarkan dan membicarakan masalah ini secara baik dengan Penggugat yang akhirnya mendorong Penggugat untuk membicarakan masalah ini dengan keluarga Tergugat untuk penyelesaian terbaik dan pihak keluarga Tergugat selalu menasehati yang nampaknya tidak pernah berhasil dan Tergugat tetap tidak mau berubah
8. Sikap dari Tergugat tersebut yang menjadikan Penggugat tidak ingin lagi untuk melanjutkan perkawinan dengan Tergugat
9. Lembaga perkawinan yang sebenarnya adalah tempat bagi Penggugat dan Tergugat saling menghargai, menyayangi, dan saling membantu serta mendidik satu sama lain tidak lagi didapatkan oleh Penggugat. Rumah tangga yang dibina selama ini juga tidak akan menanamkan budi pekerti yang baik bagi anak-anak Penggugat/Tergugat.

Berdasarkan uraian diatas, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk memutuskan

1. Menerima gugatan penggugat
2. Mengabulkan gugatan penggugat untuk keseluruhan
3. Menyatakan putusnya ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana dalam Akta Perkawinan No____yang tercatat di Kantor Urusan Agama Petukangan Jakarta Selatan
4. Menyatakan hak asuh dan pemeliharaan anak berada dalam kekuasaan penggugat
5. Menghukum Tergugat untuk memberikan uang iddah, nafkah anak sebesar Rp. 3.000.000,00 / bulan
6. Membebankan seluruh biaya perkara kepada Tergugat.

Apabila Majelis Hakim berkehendak lain, Penggugat mohon putusan yang seadil-adilnya

Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih

Pekanbaru,______



Hormat Penggugat


Edwin Oscar

Kamis, 21 Januari 2010

Berilah Aku Kesabaran

Ya alllah, kenapa begitu banyak ujian-ujian Mu kepadaku? di awal tahun 2010 ini saja aku begitu tersudutkan oleh banyak permasalahan-permasalahan yang tidak sanggup lagi aku pecahkan, mengapa kepadaku ya Allah? apa begitu banyak dosa-dosa yang dulu aku lakukan? berilah aku ampunan Mu ya allah! tunjukanlah jalan keluar bagiku ya allah! aku tidak kuat lagi ya allah, semua datang begitu berturut-turut kepadaku, hanya engkau ya allah tempat aku memohon ampunan dan petunjuk yang lurus bagiku, aku tahu neraka dekat kepada ku, aku tahu sorga tidak pantas untukku, tetapi aku juga tidak mau syirik kepadaMu ya allah, aku tahu itu dosa yang paling besar bagiMu ya allah, aku hanya bisa berdoa kepadaMu ya allah, semoga engkau terima doaku ya allah. amin.